Monday, November 2, 2009

Sulitnya Lahirkan Pengusaha Pribumi

Di zaman penjajahan, pengusaha dibagi tiga golongan. Bisnis-bisnis besar ditangani Belanda, kelas menengah ditempati pengusaha China sementara pribumi ditempatkan di golongan paling bawah, satu kelompok dengan pedagang eceran. Hal itu terungkap dalam buku setebal 237 halaman yang telah selesai ditulis M Jusuf Kalla. Ia berkisah tentang pengalamannya selama menjadi Wakil Presiden RI. Menurut Ketua Umum DPP Golkar itu, keadaan sekarang sudah berubah banyak.

Pribumi sudah banyak yang menjadi pengusaha besar, menengah, apalagi yang kecil lebih banyak lagi. Namun pembedaan itu masih saja terjadi. ?Misalnya saja, saya kerap mendapat keluhan dari pengusaha termasuk anggota Kadin, ihwal sulitnya mendapat kredit,? papar JK dalam buku tersebut. Sementara pengusaha dari kelompok tertentu mendapat perlakuan yang jauh lebih baik. Dari sinilah kemudian munculnya tudingan ada diskriminasi. Padahal, aturan yang dibikin pemerintah tidak diskriminatif.

Bank boleh memberikan kredit kepada siapa saja. Yang membedakan pengusaha satu dengan lainnya adalah semangat, kultur, dan kemauan. Itulah yang kemudian membedakan kenapa yang satu maju sedangkan yang lainnya jalan di tempat. Jadi bukan lantaran adanya perbedaan perlakukan atau peraturan. Tidak satu orang pun di negeri ini yang dilarang bikin toko, bikin perusahaan besar, bikin bank, atau bikin bentuk usaha lainnya. Tapi kenapa hasilnya cenderung berbeda? Yang membedakan ialah semangat, kebiasaan, serta lingkungan. Karena faktor itu hanya bisa tumbuh dari dalam.

Coba tanya kepada generasi muda, mau jadi apa kelak? Mungkin lebih dari 50% mengatakan ingin menjadi pegawai negeri, atau ingin profesi yang lain. Anak TK atau SD saja kalau ditanya cita-citanya, di antara sepuluh saya kira hampir tidak ada yang memilih ingin menjadi pengusaha. Selalu ingin jadi dokter, jadi tentara, jadi pilot. Tidak ada yang ingin jadi pedagang, tidak ada,? tandasnya. Bandingkan, kalau yang ditanya keturunan China. Dari 10 anaknya, pasti 9 menjawab ingin jadi pengusaha. Di samping memang kesempatan mereka untuk jadi pegawai terbatas. Mereka susah jadi tentara, susah jadi pegawai negeri. Walaupun sekarang sudah ada walikota, menjadi bupati, gubernur bahkan menteri.

Jadi yang membedakan, sekali lagi, adalah semangat. Semangat ingin maju dan berani ambil risiko. Karena pengusaha itu harus punya spirit ingin maju, dan berani ambil risikonya. Tidak ada pengusaha tanpa risiko. No pain no gain. Kalau mau gain terus, ya semua ingin jadi broker saja, semua jadi makelar. Akibatnya, kita selalu kekurangan pengusaha. Para pengusaha pribumi mungkin mendapat kemajuan, tapi menuruti deret hitung. Tapi teman-teman kita yang non pribumi, terutama China, sebagian besar bisa maju menuruti deret ukur, tandasnya.

Apa itu deret ukur dan deret hitung? Sama-sama punya anak lima, anak pengusaha Tionghoa semuanya ingin jadi pengusaha. Ada yang membuka toko sparepart, buka warung makan, toko kain. Atau mungkin jualannya sama tapi tempatnya beda-beda. Tapi para pengusaha pribumi, anak lima, satu ingin jadi pegawai negeri, satu ingin jadi dokter, satu ingin jadi tentara, satu ingin jadi pengusaha warisan. Siapa yang jadi pengusaha?

Dikutip dari Inilah.com

Mengapa saya mengutipnya? Saya bukan dalam kapasitas jurkam atau pendukung JK. Akan tetapi karena pandangannya sejalan dan mendukung isi dari blog ini, maka saya kutip untuk menambah pengetahuan anda. Masalah pada Pilpres mendatang anda memilih siapa, silahkan anda tentukan sendiri sesuai hati nurani anda.

No comments:

Post a Comment