Monday, November 2, 2009

Merubah Indonesia dengan Memperbanyak Entrepreneurship

Posted by sumintar

Apr 6

Merubah Indonesia dengan Memperbanyak Entrepreneurship, kaum wirausaha, pengusaha, Usaha Kecil Menengah UKM, dan pada kaum muda mandiri. Dalam kampanye-kampanye yang saya tonton di televisi sepertinya perhatian untuk kaum ini kurang, para jurkam bicara masalah pengentasan kemiskinan, pengurangan tingkat pengangguran, padahal peluang lapangan kerja baru, terbanyak dilahirkan dari para pengusaha, wiraswasta, pengusaha kecil dan menengah.

Menambah pegawai negeri bukan solusi, menbah pegawai negeri akan semakin menguras APBN, semakin menguras keuangan negara, sementara pegawai yang ada saat ini kinerjanya bekum maksimal, kualitasnya juga masih dipertanyakan. Banyak pegawai negeri berprinsip kerja serius dibayar, kerja santai juga dibayar, kenapa harus serius. Memang tidak semua pegawai negeri bermental demikian, maaf.

Banyaknya PHK menunjukkan bahwa kinerja para pengusaha menurun, banyak partai malah memojokkan para pengusaha, tidak semua pengusaha buruk, mereka butuh iklim usaha yang kondusif, mereka butuh fasilitas dari pemerintah untuk melawan badai krisis global yang mendera. Merka tidak mampu bersaing, para buruh menuntuk kenaikan gaji sementara pengusaha menjerit, jangankan menaikkan gaji bisa menggaji rutin saja sudah tidak mampu, ujung-ujungnya PHK besar besaran.

Definisi entrepreneur seperti apa?

Sorang yang memiliki daya kreasi dan inovasi untuk merubah barang yang tidak berguna menjadi bernilai, merubah sampah menjadi pupuk organik yang bermanfaat, merubah kebiasaan dari sekedar brosing untuk suka-suka dirubah menjadi kegiatan bisnis yang bernilai, merubah product open source menjadi product yang bisa membantu banyak orang dan bisa digunakan dengan mudah sehingga menjadi bernilai dan laku dijual.

Berani mengambil resiko dari setiap kegiatan, penelitian, riset dalam rangka membuat produk baru, menemukan cara baru, mendapatkan jawaban baru dari setiap masalah yang muncul disekelilingnya.

Tanggap terhadap perubahan, tidak mudah menyerah, selalu punya alternatif penyelesaian, tidak menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan takdir.

Tidak takut rugi, tidak takut salah, tapi takut kalau tidak melakukan kegiatan, takut kalau hidupnya hanya menjadi beban, hanya bisa meminta, hanya bisa menunggu dari perubahan itu sendiri. Enterpreneur turut andil dalam sejarah perubahan.

Berapa wirausahawan lagi dibutuhkan?
Pendapat Sosiolog David McClelland suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur sedikitnya 2% dari jumlah penduduk. Singapura sudah 7,2% padahal pada 2001 baru 2,1%. Sedangkan Indonesia hanya 0,18% dari penduduk atau 400.000-an orang. Itulah kenapa Indonesia dibolak balik, tetap saja ketinggalan dengan negara tetangga. Bahkan para anggota legislatif banyak yang tidak tahu, tapi omong banyak tentang kemajuan Indonesia. Bagaimana kita bisa membuat perubahan semantara kita sendiri tidak pernah melakukan perubahan, dan tidak pernah memberi contoh nyata, setiap orang bisa omong, tapi sedikit orang yang mau mempraktekkannya.

Mengapa Indonesia sedikit Wirausaha

Ini mungkin hasil penjajahan yang terlalu lama, selalu diberi ikan bukan diberi kail dan jala oleh para pemimpin, para orang tua, para dosen dan guru di sekolah. Kebanyakan orang tua kita petani, dan pegawai negeri, pegawai negeri itu masuk zona aman, kerja dapat gaji, tidak kerja juga dapat gaji. Sekolah kita hanya mendidik jadi orang yang pintar teori, tapi seditik sekali praktek, pinter debat tapi kurang kerja nyata.

Kebanyakan dari kita bermental karyawan, bermental buruh, bukan salahnya tapi keadaan, lingkungan, kultur yang telah menempatkan pegawai adalah pekerjaan yang palin aman, pegawai negeri adalah impian setiap orang tua.

Yang paling parah adalah tidak mudah menjadi pengusaha, buruh demo naik gaji, sementara kinerja para buruh belum maksimal, perijinan yang sulit, mencari modal juga sulit, apalagi tidak punya jaminan.

Pengusaha dijadikan sasaran tembak,

Pengusaha sering menjadi sasaran tembak, tidak bisa menggaji diatas UMR, tidak memberi fasilitas pada karyawannya, padahal banyak pengusaha yang kena dampak krisis, jangankan menaikkan gaji, membayar gaji rutin saja susah. Jangankan menaikkan produktifitas, memproduksi saja tidak mampu karan bahan baku mahal, banyak uang siluman, biaya produksi tinggi, listri mahal, dan banyak masalah yang sering terabaikan.

Sumber Alam Melimpah, Sumber Energi Banyak, Kenapa Masih tidak makmur

Semua orang ngomong target kemakmuran, tapi bila entrepreneurship tidak diajarkan, semuanya tidak tercapai, sejarah yang membuktikan.

Indonesia memiliki banyak komoditas, tambang mineral dan penghasil energi berlimpah tapi bukan bangsa kita yang mengubah menjadi end product, yang bermutu dan bernilai mahal harganya. Bila tidak ada tambahan nilai (added value) oleh bangsa kita, Indonesia tetap miskin. Kita lihat investasi dari luar negeri, orang kita jadi apa? Buruh!

Banyak Yang jadi TKI, karena di Indonesia Gaji Rendah, Lowongan Sedikit,

Mungkin kita bertanya kenapa banyak orang mencari kerja di luar negeri, ti Taiwan, di Malaysia, Hongkong, Singapore. Itu Karena di Indonesia sedikit lowongan kerja, kalaupun toh ada gaji buruh di Indonesia terlalu minim.

Ini disebabkan karena sedikit entrepreneur yang bisa menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
Bila saat ini memang tak bisa memberikan pekerjaan, kita perlu bekali kaum muda kemampuan menciptakan lapangan kerja baru, membuat sesuatu yang baru dengan memaksimalkan yang sudah ada. Entrepreneur tidak hanya menolong mereka yang menganggur tapi menciptakan kesejahteraan masyarakat, lingkungan dan bangsa. Dan, kehadiran mereka lebih dibutuhkan dalam pemanfaatan sumber daya alam bagi kemakmuran rakyat, bukan modal asing.

Kesimpulan

Merubah Indonesia menjadi makmur bukan saja membagi-bagi dana ABPN untuk rakyat tanpa proses, apalagi hanya membagi-bagi pada para pejabat, legislatif yang terjadi selama ini. APBN hendaknya bisa didayagunakan secara maksimal untuk membangkitkan masyarakat madani, masyarakat mandiri, dengan terciptanya generasi muda mandiri yang mampu berwiraswasta atau berjiwa entreprenuer. Bukan hanya menjadikan rakyat menjadi semakit ketergantungan terhadap sumbangan, bukan menjadikan rakyat semakin tidak kreatif, menjadikan rakyat semakin manja, tetapi dana yang melimpah yang selama ini dijanjikan haruslah menjadi motivasi untuk selalu berkarya, menggunakan dana yang ada dalam rangka peningkatan kualias hidup, kualitas SDM, dan kemampuan untuk mandiri, menciptakan lapangan kerja baru, sehingga pada akhirnya bisa memberikan nilai dan kotribusi pada diri sendiri, lingkungan, masyarakat dan bangsa.

Raja Properti Dr (HC) Ir.Ciputra di Makassar

Raja Properti Dr (HC) Ir Ciputra Tularkan Entrepreneurship di Makassar
Thu, 30/04/2009 - 14:33 — geewaq

Satu Proyek Hidupkan 100 Industri Lokal


Raja properti Dr (HC) Ir Ciputra tak pernah capai mengembangkan jiwa entrepreneurship kepada publik di Indonesia. Setelah keliling di beberapa kota di Jawa, bos Ciputra Group itu kemarin menularkan "virus" itu ke Makassar.



KONSEP pendidikan yang memberi perhatian pada pola pengembangan kewirausahaan (entrepreneurship) tak bisa ditolak lagi. Sebab, kata Pak Ci, panggilan akrab Ciputra, dalam kondisi krisis seperti saat ini pola itu dapat menciptakan tenaga-tenaga kerja yang kreatif yang mampu menciptakan lapangan kerja. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia.



Ciputra mengaku bangga negeri ini masih punya bibit-bibit unggul entrepreneur andalan. Beberapa hari lalu, lanjut dia, dia bertemu seorang pengusaha di Hotel Ciputra yang mau berinvestasi di Luwu, Sulsel. Kepada Pak Ci, pengusaha itu bercerita mau mengembangkan pabrik pengolahan rumput laut menjadi bubuk.



"Komoditas ini akan diterima oleh Jepang dan Korea yang permintaannya sampai saat ini sulit dipenuhi. Ini menunjukkan, dia memiliki jiwa entrepreneur yang akan memanfaatkan komoditi lokal kita," tambah dalam acara "CEO Talk Entrepreneurship: Strategi Menghadapi Krisis" di Clarion Hotel and Convention, tadi malam.



Menurut Ciputra, masih banyak lagi peluang usaha yang bisa digarap asal pengusaha kreatif. Misalnya, Singapura merupakan negara penghasil essence (intisari) untuk parfum. Padahal, sebagian besar bahan bakunya diambil dari Indonesia dengan harga murah. Ironisnya, saat yang sama Indonesia mengimpor produk olahan dari Singapura.



"Hal ini bisa dijadikan pelajaran bagi Indonesia untuk mendirikan industri pengolahan," katanya.

Ciputra mengakui untuk mencetak jiwa entrepreneurship tidak gampang. Ciputra bahkan mengusulkan anggaran sekitar Rp 10 triliun setiap tahunnya untuk pengembangan kemampuan entrepreneurship di dunia pendidikan. Ciputra sendiri juga menggandeng kerja sama dengan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas untuk mengejawantahkan gagasan ini. Tahun ini, misalnya, mereka menyiapkan anggaran Rp 114 miliar untuk mengembangkan pola entrepreneurship di Indonesia.



Ciputra menambahkan, jumlah entrepreneur di Indonesia pada 2007 masih sangat minim jika dibandingkan jumlah penduduk. Yakni, hanya 0,18 persen atau 440.000. Idealnya, Indonesia memiliki 4,4 juta entrepreneur atau berkisar 2 persen dari jumlah penduduk.



Jika dibandingkan dengan Singapura pada 2005, kata Ciputra, Indonesia juga kalah jauh. Sebab, rasio jumlah entrepreneur di Negari Singa mencapai 7,2 persen. Demikian pula, Amerika Serikat pada 2007 mencapai 11,5 persen entrepeneur.



"Saatnya pemerintah kita mengubah pola pendidikan dari menciptakan lulusan pencari kerja kepada sarjana pencipta lapangan kerja. Dengan demikian negara ini akan bisa survive dalam terpaan krisis. Sebab, a masyarakatnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain," ujar Ciputra.



Dalam acara tadi malam hadir Pimpinan Wilayah Bank Mandiri Makassar Agus Fuad, pemilik Clarion Hotel and Convention Willianto Tanta, pemilik PT Sinar Galesong Pratama Rizal Tandiawan dan Jacky Tandiawan, para eksekutif perbankan, serta calon penghuni Citraland Celebes.



Founder Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) ini menceritakan, pemerintah Amerika pasca peledakan bom atom di Jepang pada 1945 sudah memikirkan bagaimana anak-anak mereka 20 tahun mendatang. Sejak saat itu, mereka mengubah pola pendidikannya menjadi entrepreneurship.



"Makanya, pada era 1965 hingga 1985, tumbuh lapangan kerja yang sangat besar dari lulusan-lulusan muda." katanya.

Pak Ci lalu menceritakan pengalamannya sendiri sebagai entrepreneur di Sulsel. Pembangunan proyek Citraland Celebes yang kini dikerjakannya mampu menghidupkan 100 industri lokal. Proyek yang menelan investasi Rp 350 miliar di lahan 30 hektare di Kabupaten Gowa (dekat Makassar) mendorong tumbuhnya para pengusaha yang mendukung proyek tersebut.



"Pertumbuhan ekonomi jelas memunculkan masyarakat pebisnis baru, baik level menengah maupun kelas atas. Ada 100-an industri ikutan yang akan dihidupkan dari proyek properti itu," tambah Direktur Ciputra Bing Sugiarto Chandra dalam jumpa pers di Clarion Hotel.



Ciputra menjelaskan, khusus untuk di kawasan timur Indonesia, Ciputra Group sudah mengembangkan sektor properti di Kalimantan, Manado, Sulsel, dan dalam waktu dekat di Ambon. "Kami awali pembangunan di Kalimantan. Di sana, kami telah membangun perumahan Citraland di tiga kota. Setelah itu di Manado yang dimulai di lahan seluas 80 hektare dan sekarang menjadi 120 hektare," urai Ciputra.(die)

Perkumpulan Entrepreneurshp ( PECI )

Perkumpulan Entrepreneurship Centre Indonesia (PECI) PDF Print E-mail
Written by Admin BAK 2
Friday, 11 September 2009 09:54

Dalam rangka menjaga komitmen Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk menyumbang kepada Daya Saing Bangsa, sejak tahun 2008 Ditjen. Dikti menggalakkan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi. Melalui pendidikan ini diharapkan perguruan tinggi akan menghasilkan karya penelitian yang memiliki kecanggihan teknologi serta bernilai ekonomis, dan lulusan yang mampu berkreasi, berdaya juang serta dapat membuka lapangan kerja baru.
Agar pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi betul-betul menjadi bagian dari proses pendidikan di setiap perguruan tinggi harus ada Pusat Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan.

Guna mendukung kesungguhan perguruan tinggi untuk mengembangkan pendidikan kewirausahaan maka pada hari ini, Kamis 10 September 2010 di Hotel Ciputra, Jakarta telah berkumpul 18 orang penanggung jawab program kewirausahaan dari 15 perguruan tinggi (salah satunya Universitas Sumatera Utara) bersama-sama dengan tim Universitas Ciputra Entrepreneurship Centre serta Direktorat Kelembagaan Ditjen. Dikti untuk membahas pembentukan Perkumpulan Entrepreneruship Centre Indonesia (PECI). Perkumpulan yang beranggotakan Pusat Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan di perguruan tinggi-perguruan tinggi Indonesia, diharapkan dapat menyusun rencana pengembangan pendidikan kewirausahaan serta program-program yang akan membangkitkan semangat pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi.

Di bawah panduan Direktur Kelembagaan, Bapak Hendarman serta Bapak Ciputra para peserta sepakat menetapkan panitia Pembentukan Perkumpulan Entrepreneurship Indonesia, sebagai berikut.
Penasehat : Fasli Jalal
Ciputra

Ketua : Antonius Tanan (UCEC)
Sekretaris : Agung Waluyo (UCEC)
Anggota : 1. Widyo Nugroho Sulasdi (ITB)
2. Benekdita Dwi Riyanti (Atmajaya, Jakarta)
3. Edy Suryanto (UGM)
4. Hirmana Wargahadibrata (UNJ)
5. Arwina Sufika (USU)
6. Setyobudi (UNIBRA)

Adapun peserta lain, bertindak diminta untuk berperan sebagai nara sumber, yaitu:
1. Munzir Musniah (UNAND)
2. Adi Prayitno (UNRI)
3. Heru Sumaksono (IPB)
4. Chairy (UNTAR)
5. Felix Ferianto Lukman (U Prasetya Mulya)
6. Suheimi Nurusman (U AL Azhar)
7. Darmansyah (UIEU)
8. Mudjiarto (UIEU)
9. Aliaras Wahid (UIEU)
10.Nanang T Puspito (ITB)
11.Elly Munadziroh (UNAIR)
12.Joko Widodo (UMM)
13.Eko Waluyo (UMM)

Sulitnya Lahirkan Pengusaha Pribumi

Di zaman penjajahan, pengusaha dibagi tiga golongan. Bisnis-bisnis besar ditangani Belanda, kelas menengah ditempati pengusaha China sementara pribumi ditempatkan di golongan paling bawah, satu kelompok dengan pedagang eceran. Hal itu terungkap dalam buku setebal 237 halaman yang telah selesai ditulis M Jusuf Kalla. Ia berkisah tentang pengalamannya selama menjadi Wakil Presiden RI. Menurut Ketua Umum DPP Golkar itu, keadaan sekarang sudah berubah banyak.

Pribumi sudah banyak yang menjadi pengusaha besar, menengah, apalagi yang kecil lebih banyak lagi. Namun pembedaan itu masih saja terjadi. ?Misalnya saja, saya kerap mendapat keluhan dari pengusaha termasuk anggota Kadin, ihwal sulitnya mendapat kredit,? papar JK dalam buku tersebut. Sementara pengusaha dari kelompok tertentu mendapat perlakuan yang jauh lebih baik. Dari sinilah kemudian munculnya tudingan ada diskriminasi. Padahal, aturan yang dibikin pemerintah tidak diskriminatif.

Bank boleh memberikan kredit kepada siapa saja. Yang membedakan pengusaha satu dengan lainnya adalah semangat, kultur, dan kemauan. Itulah yang kemudian membedakan kenapa yang satu maju sedangkan yang lainnya jalan di tempat. Jadi bukan lantaran adanya perbedaan perlakukan atau peraturan. Tidak satu orang pun di negeri ini yang dilarang bikin toko, bikin perusahaan besar, bikin bank, atau bikin bentuk usaha lainnya. Tapi kenapa hasilnya cenderung berbeda? Yang membedakan ialah semangat, kebiasaan, serta lingkungan. Karena faktor itu hanya bisa tumbuh dari dalam.

Coba tanya kepada generasi muda, mau jadi apa kelak? Mungkin lebih dari 50% mengatakan ingin menjadi pegawai negeri, atau ingin profesi yang lain. Anak TK atau SD saja kalau ditanya cita-citanya, di antara sepuluh saya kira hampir tidak ada yang memilih ingin menjadi pengusaha. Selalu ingin jadi dokter, jadi tentara, jadi pilot. Tidak ada yang ingin jadi pedagang, tidak ada,? tandasnya. Bandingkan, kalau yang ditanya keturunan China. Dari 10 anaknya, pasti 9 menjawab ingin jadi pengusaha. Di samping memang kesempatan mereka untuk jadi pegawai terbatas. Mereka susah jadi tentara, susah jadi pegawai negeri. Walaupun sekarang sudah ada walikota, menjadi bupati, gubernur bahkan menteri.

Jadi yang membedakan, sekali lagi, adalah semangat. Semangat ingin maju dan berani ambil risiko. Karena pengusaha itu harus punya spirit ingin maju, dan berani ambil risikonya. Tidak ada pengusaha tanpa risiko. No pain no gain. Kalau mau gain terus, ya semua ingin jadi broker saja, semua jadi makelar. Akibatnya, kita selalu kekurangan pengusaha. Para pengusaha pribumi mungkin mendapat kemajuan, tapi menuruti deret hitung. Tapi teman-teman kita yang non pribumi, terutama China, sebagian besar bisa maju menuruti deret ukur, tandasnya.

Apa itu deret ukur dan deret hitung? Sama-sama punya anak lima, anak pengusaha Tionghoa semuanya ingin jadi pengusaha. Ada yang membuka toko sparepart, buka warung makan, toko kain. Atau mungkin jualannya sama tapi tempatnya beda-beda. Tapi para pengusaha pribumi, anak lima, satu ingin jadi pegawai negeri, satu ingin jadi dokter, satu ingin jadi tentara, satu ingin jadi pengusaha warisan. Siapa yang jadi pengusaha?

Dikutip dari Inilah.com

Mengapa saya mengutipnya? Saya bukan dalam kapasitas jurkam atau pendukung JK. Akan tetapi karena pandangannya sejalan dan mendukung isi dari blog ini, maka saya kutip untuk menambah pengetahuan anda. Masalah pada Pilpres mendatang anda memilih siapa, silahkan anda tentukan sendiri sesuai hati nurani anda.

Pandangan Ciputra Tentang Dunia Entrepreneurship

Ciputra: Kita Terlalu Banyak Ciptakan Sarjana Pencari Kerja!

Pengusaha Ciputra mengatakan, akar musabab kemiskinan di Indonesia bukan semata akibat akses pendidikan, karena hal itu hanya sebagian, melainkan karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya.

"Kita banyak menciptakan sarjana pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja, itu membuat masyarakat kita terbiasa makan gaji sehingga tidak mandiri dan kreatif," ujar Ciputra di hadapan peserta seminar "Entrepreneurship Inspiring Our Journey" yang digelar di SMA Kolese Kanisius, Jakarta, Sabtu (29/8).

Entrepreneur atau wirausahawan, kata pria yang akrab disapa Pak Ci' ini, adalah seseorang yang mampu mengubah kotoran atau rongsokan menjadi emas. Dengan demikian, kata dia, negara selama ini hanya mencetak begitu banyak sarjana yang hanya mengandalkan kemampuan akademisnya, tetapi menjadikan mereka lulusan yang tidak kreatif.

"Malaysia punya lebih banyak wirausahawan daripada Indonesia, kini mereka lebih maju karena pendapatannya yang empat kali lebih besar dari Indonesia," ujar Pak Ci'.

Sarjana pencari kerja
Makin banyak entrepreneur, sejatinya semakin makmur suatu negara. Ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) David McClelland pernah menjelaskan bahwa suatu negara disebut makmur jika minimal mempunyai jumlah wirausahawan minimal 2 persen dari jumlah penduduk di negara tersebut.

Menurut Ir Antonius Tanan, Direktur Human Resources Development (HRD) Ciputra Group yang juga menangani Ciputra Entrepreneurship School (CES), bahwa pada 2007 lalu AS memiliki 11,5 persen wirausahawan di negaranya.

Sementara itu, Singapura memunyai 4,24 juta wirausahawan pada 2001 atau sekitar 2,1 persen. Namun, empat tahun kemudian jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2 persen, sedangkan Indonesia hanya memiliki 0,18 persen jumlah wirausahawan.

"Negara kita terlalu banyak memiliki perguruan tinggi dan terlalu banyak menghasilkan sarjana, tetapi sayangnya tidak diimbangi dengan banyaknya lapangan kerja," tandas Antonius.

"Akhirnya kita hanya banyak melahirkan pengangguran terdidik, tahun 2008 kita punya 1,1 juta penganggur yang merupakan lulusan perguruan tinggi," ujarnya.

Data tahun 2005/2006, misalnya, lanjut Antonius, terdapat 323.902 lulusan perguruan tinggi yang lulus. Kemudian dalam waktu 6 bulan dari Agustus 2006 sampai Februari 2007, jumlah penganggur terdidik naik sebesar 66.578 orang.

"Generasi muda kita tidak memiliki kecakapan menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri karena mereka terbiasa berpikir untuk mencari kerja," ujar Antonius.


Dikutip dari Kompas.com